Wednesday, April 7, 2010

Kinerja DPR

[JAKARTA] Pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Anti-Pornografi yang sedang digodok oleh Panitia Khusus (Pansus) DPR masih menuai kontroversi dari berbagai pihak. Setara Institute, salah satunya, secara tegas menolak pengesahan RUU tersebut yang rencananya akan disahkan pada 23 September mendatang.
Institusi yang diketuai oleh Hendardi ini menilai, materi dari muatan RUU tersebut bersifat diskriminatif terhadap semua kalangan masyarakat. Materi muatan RUU Anti-Pornografi dibangun di atas dasar pandangan yang diskriminatif terhadap perempuan, karena meletakkan perempuan sebagai objek kriminalisasi.
"Rumusan semacam ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang tercantum dalam konstitusi, yakni semua orang sama di hadapan hukum. Juga bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia, baik yang tercantum di dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, maupun Kovenan Sipil Politik, yang semuanya telah menjadi bagian hukum Indonesia," ujar Hendardi, kepada SP, di Jakarta, Senin (15/9).
Kehadiran RUU Anti-Pornografi, kata Hendardi, juga dinilai merupakan instrumen politisasi identitas perempuan dan politisasi agama untuk kepentingan jangka pendek jelang Pemilu 2009, karena sesungguhnya hukum Indonesia telah menyediakan sejumlah UU yang mengatur perihal larangan pornografi, seperti UU Penyiaran, UU Pers, KUHP, dan UU Perfilman.
Menurutnya, RUU Anti-Pornografi merupakan bentuk pengingkaran terhadap pluralitas warga negara karena telah menggiring pada upaya totalisasi perilaku dan sikap dalam wadah yang tunggal atas nama agama. Harus diakui, RUU ini merupakan desakan kelompok-kelompok tertentu yang menghendaki penyeragaman atas nama kepatuhan pada ajaran agama, yang sebenarnya tidak semua umat menyepakatinya.
"RUU Anti-Pornografi akan menjadi pembenaran kelompok-kelompok yang selama ini melakukan penghakiman massa terhadap berbagai objek yang secara sepihak dianggap bertentangan dengan ajaran keagamaan," tuturnya.
Hendardi juga mengingatkan kepada DPR dan pemerintah bahwa, semestinya mereka belajar dari pengalaman pembatalan sejumlah materi undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi (MK) akibat muatannya yang bertentangan dengan konstitusi. Pola kerja yang tanpa menengok pengalaman masa lalu mengindikasikan adanya politisasi legislasi yang kuat untuk kepentingan kelompok tertentu dan hanya menghabiskan anggaran negara.
"Oleh karena itu, Setara Institute mendesak kepada Presiden, pimpinan partai politik, dan anggota DPR, untuk membatalkan rencana pengesahan RUU Anti-Pornografi tersebut," ucapnya.
Setara Institute juga mendesak pemerintah dan DPR untuk lebih baik memperkuat fungsi dan peran komisi-komisi negara maupun badan-badan lainnya, seperti Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers, Lembaga Sensor Film, dan lain-lain untuk menjalankan regulasi distribusi materi-materi pornografi, dibandingkan membuat produk hukum baru yang pincang secara yuridis, filosofis, dan sosiologis
Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2004-2009, khususnya dalam bidang legislasi sangat buruk dan mengecewakan. Dibatalkannya sejumlah pasal dalam Undang-Undang Komisi Yudisial dan beberapa UU lainnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sepanjang tahun 2006 lalu, setidaknya mengindikasikan ada yang tak beres dalam proses pembuatan UU (law making process) yang dilakukan oleh DPR selama ini.
Selain itu, tidak sedikit UU yang dihasilkan DPR tumpang tindih dengan UU lainnya. Sebagai contoh fungsi pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial (KY) yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, selain bertentangan dengan UUD 1945, juga tak sejalan dengan fungsi pengawasan yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Kesemuanya ini adalah bukti nyata ketidakcermatan DPR dalam meramu produk UU ke dalam sebuah sistem yang komprehensif dan merupakan cermin dari buruknya kualitas UU yang dihasilkan oleh DPR. Selain buruk dari segi kualitas, jika ditinjau dari segi kuantitas, UU yang dihasilkan oleh DPR periode 2004-2009, masih jauh di bawah target pencapaian. Untuk tahun 2006 lalu, dari 78 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang menjadi target untuk diselesaikan, DPR hanya mampu menyelesaikan sebanyak 37 UU. Bahkan bukan hanya itu, DPR ternyata juga kurang jeli menetapkan UU apa yang harus diprioritaskan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Melihat realitas di atas, rakyat sebagai pihak yang memberi mandat dan kepercayaan pantas untuk kecewa dan marah atas buruknya kinerja legislasi para wakilnya. Kekecewaan rakyat terhadap hasil kinerja buruk wakilnya di bidang legislasi bukan tanpa alasan. Bukankah dalam setiap proses pembuatan suatu UU tak sedikit ongkos yang harus dibayar oleh rakyat. Bahkan bisa mencapai milyaran rupiah yang harus dikeluar untuk menghasilkan satu UU. Hal ini dapat dilihat dari data mengenai alokasi anggaran DPR dalam bidang pembuatan UU yang beberapa waktu lalu dikeluarkan oleh Sekretariat Jendral (Sekjen) DPR. Berdasarkan data tersebut, untuk tahun 2006 lalu, alokasi anggaran untuk pembuatan UU oleh DPR adalah Rp 640 juta per satu UU dan untuk tahun ini (2007) alokasi anggaran untuk pembuatan UU oleh DPR mengalami peningkatan naik menjadi Rp 1,2 miliar per satu UU.
Selain itu, realitas buruknya kinerja DPR dalam bidang legislasi memberikan pelajaran sangat berharga kepada kita. Ternyata, dengan menguatnya peran dan fungsi legislasi DPR, tidak mampu mengubah kinerja DPR menjadi lembaga pembuat UU yang baik. Seperti kita ketahui, pasca amandemen UUD 1945 terjadi perubahan ekstrem terhadap fungsi legislasi DPR. Jika sebelum amandemen UUD 1945, DPR berdasarkan rumusan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) hanya mempunyai fungsi legislasi semu dalam proses pembentukan UU. Namun, pasca amandemen pertama UUD 1945, rumusan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) mengalami perubahan yang sangat signifikan sehingga berimplikasi pada menempatkan DPR sebagai lembaga utama pemegang kekuasaan pembuatan UU (primaire wetgever). Selain kedua pasal tersebut, dominasi DPR dalam proses legislasi diperkuat dengan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945.
Bila dicermati setidaknya terdapat tiga faktor yang menjadi penyebab buruknya kinerja DPR di bidang legislasi. Ketiga faktor tersebut yaitu, Pertama, lemahnya kesadaran konstitusionalisme dari DPR. Sehingga dalam proses pembuatan UU DPR kurang memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945. Semestinya, sebagai lembaga tinggi negara dalam menyusun suatu UU, DPR wajib memperhatikan norma-norma hukum yang terkandung dalam UUD 1945. Hal ini dikarenakan UUD 1945 sebagai hukum dasar memegang peranan yang sangat penting dan strategis. Dan juga sebagai hukum dasar negara maka secara hierarki semua peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh semua lembaga negara haruslah dari dan tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, tidak adanya cetak biru (blue print) yang jelas dan semrawutnya program legislasi nasional (Prolegnas) yang disebabkan oleh ketidakjelasannya politik hukum nasional yang ada saat ini. Sehingga kepentingan politik (political interest) yang diusung berbagai pihak (elit politik parpol) lebih mendominasi dalam setiap proses pembuatan UU. Akibatnya, banyak UU yang dihasilkan oleh DPR saling berbenturan dan overlaping.

No comments:

Post a Comment